Website Resmi MAN Aceh Barat Daya

MAN ACEH BARAT DAYA BERBASIS RISET NASIONAL

Jln. Mohd. Syarief No. 38 Aceh Barat Daya Aceh 23764

BIMBINGAN KONSELING DI MAN ACEH BARAT DAYA

 

 

Bimbingan Konseling Itu Seru Lho Gaysss…

Sebenarnya sudah banyak tulisan dengan tema serupa, mungkin begitu juga halnya dengan tulisan
saya ini. Saya tidak bermaksud menggurui,tetapi saya hanya ingin mencoba
meluruskan misskonsepsi atau kesalahpahaman mengenai Bimbingan dan Konseling (BK). Karena
saya sendiri adalah guru BK, wajar dong jika saya ikutan menjelaskan dan mengubah citra BK, yaa
sedikit pencitraan lah, hehe…
Pertama kali mendengar kata Bimbingan dan Konseling (BK), pasti yang terlintas di kebanyakan
orang, guru, siswa, bahkan wali murid, adalah sesuatu yang menyeramkan dan tidak
menyenangkan. BK selama ini identic dengan siswa nakal, pelanggaran tata tertib, siswa
bermasalah, hukuman, tempat memarahi dan menghakimi siswa.
                                                                          Kesalahpahaman tentang BK
“Bimbingan dan Konseling adalah upaya sistematis,objektif, logis, dan berkelanjutan, serta
terprogram yang dilakukan konselor atau guru BK untuk memfasilitasi perkembangan peserta
didik/ konseli untuk mencapai kemandirian dalam kehidupannya” (Permendikbud Nomor 111 tahun
2014 pasal 1).
Jadi disini saya tidak akan mengulas panjang lebar secara teoritis lengkap dan rinci mengenai
layanan-layanan BK, karena sudah saya bahas di artikel sebelumnya, sekarang saya hanya akan
mencoba meluruskan kesalahan persepsi tentang BK. Dan semoga bermanfaat dan membuka
paradigma kita tentang tugas pokok dan fungsi guru BK yang sesungguhnya.
1. BK Tidak (Hanya) Menangani Siswa “Nakal”
Sebelumnya, saya kurang begitu sepakat dengan istilah siswa “nakal”. Sempat saya bertanya ke
beberapa guru, apa yang dimaksud dengan nakal? Ada guru yang menjawab siswa yang sering
melanggar tata tertib. Kalau ini menurut saya lebih baik diistilahkan “kurang disiplin”. Ada yang
menjawab, siswa yang sering mengganggu teman. Mungkin tepatnya disebut “usil atau jahil”. Ada
pula yang menjawab ekstrim, yaitu siswa yang sering membuat onar, pengeroyokan bahkan terlibat
kriminalitas. Hmm… coba kita istilahkan siswa yang perlu perhatian sangat khusus perilakunya
agak menyimpang.
Layanan Bimbingan dan Konseling adalah layanan untuk semua siswa, tidak hanya siswa yang kurang
disiplin, usil, jahil, tetapi juga untuk siswa cerdas, aktif, berprestasi, rajin, semuanya. Hal ini sesuai
dengan Permendikbud nomor 111 tahun 2014, pasal 5a yang berbunyi: “Layanan Bimbingan dan
Konseling dilaksanakan berdasarkan prinsip yaitu: Diperuntukkan bagi semua dan tidak diskriminatif.
Permendikbud 111 tahun 2014 ini juga menjadi dasar legalitas yuridis formal yang kokoh bagi BK,
dimana dijelaskan secara lengkap konsep dan kerangka kerja layanan BK, yaitu Pola Layanan
Bimbingan dan Konseling Komprehensif.
2. Bermasalah Tidak Berarti Nakal
Setelah kita bahas tentang istilah “nakal”, maka perlu kiranya kita sepahamkan istilah siswa
“bermasalah”. Kali ini saya juga telah bertanya kepada beberapa guru, apa yang dimaksud dengan
istilah siswa bermasalah? Jawaban mereka adalah siswa bermasalah identik dengan siswa nakal yang
istilahnya telah kita perbaiki diatas tadi. Masalah, menurut saya, pengertian sederhananya adalah:
sesuatu yang tidak kita harapkan yang terjadi pada diri kita dan sifatnya mengganggu (pikiran,
aktivitas dan lain-lain). Semua manusia pasti punya masalah/problema selama dia masih hidup, dan
masalah itu bisa jadi merupakan ujian dari Tuhan dalam menjalani kehidupannya. Pada Bimbingan
dan Konseling, masalah yang dihadapi oleh siswa terbagi menjadi 4 bidang yaitu: Bidang Pribadi,
Sosial, Belajar dan Karir. (terdapat lengkap pada Permendikbud 111 tahun 2014). Maka, semua siswa
(atau bahkan kita semua) juga pasti punya masalah, baik yang cerdas, aktif, berprestasi, rajin, ataupun
siswa yang kurang disiplin, usil, jahil, dan lain-lain.
3. Ke Ruang BK = Dimarahi dan Dijadikan Bahan Omongan (Big NO!!!)
Jangan Jadikan Masalah Siswa Menjadi Bahan Omongan.
Dalam memberikan layanan, BK harus memberikan layanan yang aman, nyaman, ramah serta
memastikan konfidensialitas atau azas kerahasiaan terhadap apa saja yang disampaikan konseling.
Maka, kesalahan besar jika memanggil siswa/ konseling ke Ruang BK untuk dimarahi dan tidak dijaga
kerahasiaannya, maka akan menyebabkan tersebarnya masalah ke kelas-kelas lain atau bahkan ke
ruang guru sekaligus menjadi bahan pembicaraan orang lain. Hal tersebut menyalahi legalitas formal
dari sistem pendidikan yang ada, dan sudah tentu, salah besar! Dengan demikian, jika ruang BK
sedang ada kegiatan konseling, mohon kiranya teman-teman, guru, yang ingin “mampir” di ruang BK
untuk memahami dan menyadari supaya berkenan keluar sebentar.
4. BK Bukan Polisi Sekolah
Dalam kaitannya pada poin 1, 2 dan 3 diatas, tugas BK di sekolah sering disalah-artikan sebagai polisi
sekolah, yaitu guru yang bertugas memarahi, menindak siswa yang melakukan pelanggaranpelanggaran tata tertib, lalu menangkapnya sebagai “terpidana” dan memberinya hukuman. Hal ini
tentu sangat bertentangan 180 derajat dari tugas BK yang sesungguhnya. Dalam sistem organisasi
sekolah, tugas penindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran tata tertib dijalankan oleh kesiswaan
yang diwakili oleh tim tata tertib, dan disini tidak bisa diberikan kepada BK karena akan menjadikan
tumpang tindih tugas pokok dan fungsinya, yang akan menjadikan BK “berwajah dua”, Antagonis dan
Protagonis sekaligus.
5. BK Adalah Pemeran Protagonis, Bukan Antagonis
Saya kali ini mengambil istilah peran dalam film dan menganalogikannya ke dalam peran BK. BK
adalah guru yang harus berperan Protagonis, yaitu guru yang memiliki sifat ramah, menyenangkan,
luwes, perhatian, menerima keadaan siswa, akrab, baik hati, suka menolong, tidak sombong, suka
menabung dan sebagainya. Hal ini untuk mendukung terciptanya suatu hubungan yang partisipatif,
fasilitatif dan hangat dengan siswa, mewujudkan azas sukarela dan terbuka, serta menumbuhkan
kepercayaan siswa bahwa BK adalah tempat terpercaya dalam membantu mengembangkan diri dan
membantu dalam menghadapi masalah. Jika diberikan peran Antagonis, sebagai guru yang sering
memarahi, menindak dan menghukum terhadap pelanggaran-pelanggaran tata tertib, maka siswa
akan pasti cenderung menjauh, menutup diri dan takut dengan guru BK. Dan tidak mungkin juga, BK
“berwajah dua”, berperan protagonis yang ramah, sekaligus antagonis yang marah.